Minggu, 29 September 2013

Urgensi Menulis dalam Prespektif Islam (Pentingnya Budaya Literasi)



“Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan didalam karung, menulis adalah ikatannya”
(Imam Syafi’i)



"Ikatlah ilmu dengan menulis"
(Ali ibn Abi Thalib)


Kalimat yang sangat mendalam betapa manfaat menulis dalam keilmuan tidak dapat terpisahkan karena menulis akan menghasilkan sebuah karya yang akan abadi dan terus mengalir manfaatnya walaupun penulis sudah tidak di dunia lagi. Jika orator akan terkenang akan gaya penyampaian dan beberapa kalimat intinya, penulis lewat tulisannya akan terkenang dengan utuh gagasan pemikirannya dan utuh tersampaikan.


Islam sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan golongan yang tidak pernah mengenalnya sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Namun kenyataanya kita harus sadar budaya keilmuan membaca, emnulis dan berdiskusi saat masa Emas Islam sudah sangat jarang sekarang. Kiblat keilmuan pun kini terpacu pada standar keilmuan barat dan dengan sengaja meniadakan pengaruh tokoh serta keilmuan muslim.


Padahal dalam catatan sejarah saat masa Emas Islam tidak terlepas dari budaya keilmuan membaca, meneliti, menulisa dan berdiskusi. Masa emas ini bersamaan dengan terjadinya kemunduran dan kegelapan pada benua eropa dan amerika, tokoh-tokoh besar Islam sangat produktif dalam berkarya diberbagai bidang. Banyak tokoh Islam yang sampai saat ini terus di pelajari karyanya seperti imam syafii, imam hanafi, imam hambali, imam maliki, ibnu khaldun, Imam ghazali, ibnu sina, ibnu taimiyah dll.



“Bisa kita bayangkan jika tidak ada budaya keilmuan dalam Islam, maka tidak ada kitab Islam kita tersampaikan dengan utuh, tidak ada sejarah Islam dan pelajaran-pelajarannya” Ade Suyitno

Website www.muslimheritage.com yang digagas oleh The Foundation for Science, Technology and Civilisation (FSTC) yang berpusat di Manchester UK berupaya menemukan Oase keilmuan Islam dengan tagline “Discover The Muslim Heritage”. Kemudian dijelaskan akan peroide waktu keEmasan Isalm yang dianggap bangsa barat sebagai “Dark Age” karena mereka mengalami kemunduran dan mereka belajar Ilmu dari peradaban Islam.




Sejarah menunjukan peradaban Emas Islam adalah peradaban dengan puncak keilmuan yang tinggi. Salah satu instansi budaya yang berpengaruh dalam kemajuan peradaban Islam adalah perpustakaan-perpustakaan umum yang saat itu dikenal dengan istilah Darul Ulum. Darul Ulum mulai didirikan pada abad keempat hijriah. Perpustakaan umum pertama didirikan berlandaskan tradisi terpuji wakaf dalam Islam. Mari kita sekilas melihat peradaban Emas Keilmuan Islam di Asia dan Eropa.


Darul Ulum yang didirikan kalangan Fatimi adalah di antara pusat-pusat ilmiah di masa itu. Perpustakaan umum ini dibangun pada tahun 395 hijriah di Kairo. Di lembaga ini diajarkan ilmu matematika dan ilmu alam yang juga dilengkapi dengan perpustakaan yang menampung  lebih dari sejuta buku. Kemudian juga ada  Darul Ulum Mosul, Darul Ulum Tripoli, Baghdad, Baitul Maqdis dan lain-lain yang masing-masing menampung ribuan buku. Para ilmuwan juga selalu menjadikan perpustakan–perpustakaan sebagai tempat aktivitas dan riset.


Selain Darul Ulum, terdapat pusat ilmiah dan budaya yang sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam. Pusat ilmiah itu dikenal dengan istilah Nizamiya. Di pertengahan abad kelima hijriah, Khaje Nezam al-Molk yang juga menteri di masa Alp Arsalan Saljouqi, mendirikan sekolah-sekolah dengan nama Nizamiya di Baghdad, Nishobour dan kota-kota lainnya. Dengan sekolah-sekolah tersebut, tingkat pendidikan umat Islam mencapai puncaknya. Nizamiya di Baghdad didirikan pada tahun 459 hijriah. Di tempat itu, Abu Ishaq Shirazi mengajar. Tingkat tertinggi pengajaran di sekolah ini adalah Ghazali. Setelah itu, sekolah-sekolah Islam berkembang pesat di dunia Islam dan merambah kedaratan Eropa. Di eropa ada wilayah cerah gemilang di tengah kegelapan yaitu Andalusia (Spayol).


Kemajuan Al-Andalus sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976)


Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Al-Andalus, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.


Universitas Cordova yang letaknya di Masjid Cordova adalah tempat yang paling baik untuk belajar pada saat itu. Saat itu telah ada jurusan astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan undang-undang/hukum. Amir Hasan Siddiqi sebagaimana dikutip Salmah menyatakan: “Pada abad ke-10 M Apabila Cordova (ibu Negara kerajaan Umaiyah Spanyol) mula menyaingi Baghdad, pasang surut aliran budaya dan pembelajaran yang bertimbal balik. Semasa abad yang berikutnya, bertambah ramai lagi pelajar dari wilayah Islam Timur dan Kristian Eropah berduyun-duyun datang ke Universiti Cordova, Toledo, Granada dan Seville untuk menimba ilmu dari perigi ilmu pengetahuan yang mengalir ke sana dengan banyak sekali.”



Menulis adalah kegiatan yang sangat penting dalam Islam. Hal ini terbukti kitab al-Quran sebelum seperti sekarang ini berawal dari firman Allah yang kemudian di tulis dalam lembaran-lembaran pelepah kurma dan kulit binatang. Kemudian lembaran-lembaran tersebut di kumpulkan menjadi kumpulan pada masa khalifah usmani.


Pengembangan intelektual dalam Islam tidak terlepas dari karya-karya tulisan cendekia muslim yang aktif terus membuat karya yang meningkatkan pengetahuan ilmu agama, ilmu pengetahuan disipliner dan mengispirasi untuk terus mengembangkan keilmuan yang telah ada.


Menulis dalam Islam al-Quran terdiri dari tiga akar kata, yaitu kata pena (qalam), kata tinta (Midad), dan menulis (kataba). Di dalam al-Qur’an kata “pena” secara eksplisit hanya disebutkan tiga kali; (1) pada Surat al-Alaq, (2) kata pena (qalam) dalam surat yang diberi nama al-Qalam yang dibuka dengan huruf nun, dan (3) kata pena qalam yang terdapat dalam Surat al-Luqman : 27.



Perintah untuk menulis di dalam al-Qur’an memang banyak, tetapi jika dibandingkan dengan perintah untuk membaca, berfikir, dan menggunakan akal secara kuantitatif jumlahnya lebih sedikit. Sedikitnya, perintah menulis, bukan berarti kegiatan menulis menjadi tidak penting. Sebaliknya, sedikitnya perintah menulis itu seharusnya lebih memotivasi umat Islam untuk lebih giat menulis sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama besar dahulu.

Peradaban Emas Islam tidak terlepas dr budaya ilmiah “membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi’’ , , , Jika budaya itu hilang, pantaslah umat Islam menjadi Terbelakang , , , (Ade Suyitno, 2013)

Terbelakang dalam bidang keilmuan akan berpengaruh terhadap perkembangan teknologi, ekonomi dan politik, , ,


Pustaka  :


Al-Quran


Muridan. 2009. Urgensi Menulis Bagi Mahasiswa: Refleksi atas Mata Kuliah Penulisan Naskah Dakwah .ISSN: 1978-1261 .Vol.3 No.2 Juli-Desember 2009 pp.312-320


Badri Yatim. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Raja Grafindo Persada Jakarta


Muslim Heritage. Manchester UK. www.muslimheritage.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar