Rabu, 17 Juli 2013

Why Sharia or Islamic Labeling ?

Pertanyaan yang ada pada judul artikel ini menjadi pertanyaan yang muncul dibenak penulis dan mungkin ada pada benak pemabaca sendiri serta semua orang yang mengamati perkembangan ekonomi Syari’ah. Judul artikel ini terlihat menyindir perkembangan ekonomi Syari’ah yang kini sedang booming dalam tataran keilmuan dan praktis diseluruh dunia. Perkembangan yang diawali oleh perbankan dan keuangan Syari’ah yang kini merebak keberbagai sektor mulai dari asuransi Syari’ah, bisnis Syari’ah, rumah sakit Syari’ah, restoran Syari’ah, hotel Syari’ah, laundry dan masih banyak lagi. Pertanyaannya kenapa harus ada Label Syari’ah ? dan apakah sebenarnya Syari’ah itu sendiri ?
Tulisan ini dilatarbelakngi sindiran seorang teman ketika melihat acara “bintang tuntas bisnis Syari’ah” yang diadakan oleh TvOne setiap jam makan sahur. Tepatnya tanggal 17 juli dini hari ini membahas Parawisata Syari’ah di Jawa Barat. Saat dikampus terjadilah obrolan kecil yang diawali oleh sindaran kecil teman kampus tentang pariwisata Syari’ah dan diiringi tertawa lepas oleh teman-teman lainnya. “Masa ada hotel dan pariwisata Syari’ah berarti ntar ada Diskotik Syari’ah atuh, tempat wisata kan hiburan”. Itulah kalimat yang terucap oleh teman.
Saat kita amati fenomena apatis diatas terlihat bahwa dalam memandang aktivitas sehari-hari adanya dikotomi yaitu pemisahan antara aktivitas dan hukum agama dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga aktivitas dan hukum agama dianggap sebagai ritual ibadah kepada tuhan saja, saat keluar dari masjid sholat khusyu dan dikantor kemudian korupsi. Islam sebagai agama adalah satu kesatuan yang terintegrasi antara hubungan manusia pada manusia dan hubungan manusia pada dengan Allah SWT. 
Penulis memandang adanya revitalisasi istilah dan implemetasi Syari’ah dalam berbagai bidang sebagai Label yang mengikuti karena masyarakat dunia Islam mulai memisahkan antara aktivitas dunia dan akhirat sehingga sekuleritas menjadi hal biasa. Akibatnya berimbas kepada kemunduran Islam yang kini terus melanda keberbagai bidang. Oknum Umat islam yang korupsi, hilangnya budaya keilmuan islam (membaca,berdiskusi dan menulis), degradasi moral pemuda islam, kejahatan sesama muslim, hingga tidak adanya persaudaraan dan integrasi antar umat islam. 
Dalam laporan ILO Global Employment Trends 2012, terungkap bahwa tingkat pengangguran negara-negara anggota OKI mencapai angka 9,4 persen, jauh di atas rata-rata pengangguran dunia yang mencapai 6,8 persen. Selain itu, tidak kurang dari 27,2 persen penduduk muslim dunia (352 juta jiwa) memiliki pendapatan di bawah USD 1,25/hari/kapita, atau sekitar Rp 12.125/hari/kapita. Hampir 10 persennya berada di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat tahun 2010 dalam Kebijakan Nasional Pengembangan Karakter Bangsa memperlihatkan bahwa masalah utama bangsa ini adalah bergesernya nilai etika dalam berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa.

Kata Syari’ah berasal dari bahasa Arab, yaitu شرع يشرع شرعا. Sedangkan kata at-tashri’ yang merupakan masdar dari شَرَّعَ, yang diadopsi dari syari’ah ini secara etimologi mempunyai dua arti , yaitu:
1. مورد الماء الجاري الذى يقصد للشرب yang artinya aliran air yang digunakan untuk minum. Dikatakan demikian karena sumber/aliran air merupakan sumber kehidupan dan kesehatan bagi tubuh.
2. الطريقة المستقيمة (jalan yang lurus) seperti firman Allah SWT, yang Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.
Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau pengertian syari’ah, yaitu:
a. Manna’ al-Qattan (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syari’ah sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
b. Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama.
c. Fathi ad-Duraini memeberikan definisi syari’ah sebagai berikut: syari’ah adalah segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syari’ah adalah an-nus}u>s al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
d. Menurut sebagian besar para fuqaha’ merupakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya melalui lisan nabi-nabi-Nya.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa syari’ah itu sebenarnya adalah agama. Sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya, yang dalam konteks ini merupakan agama yang berasal dari Allah SWT, yang berisi ketentuan-ketentuan-Nya kepada hamba-hambanya yang wahyukan kepada para Rasul. Kemudian agama yang diridhai Allah adalah Islam. Hal ini tertera jelas dalam tafsir Al Qur’an surat Ali Imran, yang artinya:
“sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam…”
Sumber-sumber Hukum Islam/Syari’at Dalam Islam terdapat sumber-sumber utama penetapan syariat dan hukum-hukum Islam. sumber-sumber tersebut adalah :
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyash
Sebagaimana yang diketahui bahwa Syariat Islam adalah hukum-hukum dan peraturan yang dibebankan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Syariat ini berisi perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan ini dalam bahasa teknis ilmu fiqih disebut hukum taklifi. Ketika perintah dan larangan ini disampaikan kepada manusia, maka timbul usaha untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan tesebut. Pemahaman dan penafsiran ini dilakukan secara sistematis oleh para ulama dengan menggunakan metode tertentu. Hasil dari usaha sistematis untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan Allah SWT, inilah yang dinamakan Fiqih
Selanjutnya, karena Syari’ah itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah dan muamalah, maka sebagai konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa fiqih pun terbagi menjadi dua, yakni fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Jadi, fiqih ibadah adalah tafsiran ulama atas perintah dan larangan dalam bidang ibadah, sedangkan fiqih muamalah adalah tafsiran ulama atas perintah dan larangan dalam bidang muamalah.
Syari’ah sebagai Label kemudian booming diseluruh dunia sekarang ini dan penulis mengamati secara umum mempunyai 2 fungsi umum yaitu fungsi dakwah dan sungsi edukasi berkaitan dengan fungsi dakwah adanya Label Syari’ah dalam setiap bidang keilmuan dan bisnis mengingatkan kita untuk segala aktivitas harus berlandaskan Al-quran dan Sunah serta setiap aktivitas sebagai kewajiban menyebakan keilmuan dalam tataran konsep dan aplikasi. Label Syari’ah sebagai edukasi adalah fungsi mengembalikan Syari’ah yang telah terjadi pemisahan melalui pendidikan keislaman di berbagai bidang baik di sekolahan maupun di masyarakat.
Implikasinya sebagai berikut :
  1. Pada rumah sakit syariah. Hal sederhana implementasi nilai islam adalah perawat untuk pasien laki-laki adalah perawat laki-laki jangan perempuan begitupun sebaliknya. Dokter dalam operasi juga hendaknya dalam keadaan bersih dan suci serta seminimal mungkin menggunakan obat yang berbahan dasar bahan haram. Hendaknya dokter, perawat dan komponen di RS  berprilaku sesuai syariah termasuk dalam berpakaian.

  2. Pada Bank Syariah. Sudah saatnya masyarakat meninggalkan Riba. Bank syariah sudah sepatutnya menggunakan maqasigh syariah sebagai indikator bisnis. Tidak hanya berorientasi bisnis tetapi juga ada nilai pendidikan islam dalam aktivitas perbankan.

  3. Pada hotel syariah. Sudah menjadi fakta umum kebanyakan hotel melegalkan dan masih bisa kecolongan pasangan bukan suami istri boleh menginap bersama bahkan memesan PSK. Dengan adanya ketegasan komitmen operasional bisnis berbagai Hotel menyatakan diri sebagai Hotel Syariah maka berimplikasi pada upaya menghilangkan fungsi hotel sesuai islam.

  4. Pariwisata Syariah. Mari kita liat realita tempat pariwisata populer di seluruh dunia termasuk di Indonesia sebgian besar sudah beralih fungsi dari tempat hiburan menjadi tempat mengumbar aurat dan tempat berkencan baik yang tua hingga yang muda, Adanya nilai-nilai islam pada tempat wisata akan menghindari hal itu dan mengembalikan fungsi tempat wisata tentunya dengan perilaku pengurus pariwisata yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.

  5. Kewirausahaan islam. Adanya eksploitasi SDM & kerusakan alam dimana-mana (SDA), kesenjangan kemiskinan adalah peran dari pengusaha yang rakus dan berorientasi menghalalkan segala cara untuk kaya. Pengusaha islam menjadikan usahanya sebagai upaya nyata mengabdi dan berkomunikasi dengan tuhannya. Nilai-nilai islam ada dalam setiap proses bisnis dan keuntungan yang didapat untuk memenuhi kesejahteraan keluarganya dan ber ZISWAF.
Hendaknya pelaku bisnis muslim dalam usahanya apalagi berlabel syariah dalam bisnisnya tidak hanya berorientasi bisnis. Adanya suatu fenomena perkembangan syariah tidak semata-mata untuk memanfaatkan peluang bisnis tetapi juga sesuai dengan maqashid syariah. Jangan sampaikan mengatas namakan bisnis dengan nama syariah islam.

Maqashid syariah yang dipahami sebagai tujuan utama syariah yang mengedepankan nilai-nilai kesejahteraan dan kemaslahatan (Jalb al-Masalih) dan menghilangkan kesengsaraan. Hal ini kemudian memunculkan teori Maqashid Syariah Abu Zahrah yang meliputi Tahdzib al-Fard (Educating the individual), Iqamah Al-Adl (Establishing justice), dan Maslahah (Welfare) (Mustafa, 2009: 6).

Dengan adanya indikator maqashid syariah ini setiap individu dapat tolak ukur yang jelas bagaimana suatu bisnis dijalankan untuk kepentingan bisnis saja atau sesuai dengan tujuan luhur maqasidh syariah dan intinya hendaklah setiap langkah dan pada akhirnya marilah tidak terjadi dikotomi dan sekularisasi. Semua aktivitas kita diniatkan karena Allah SWT dan berlandaskan Al Quran dan Hadits.
Pustaka :
Al-Qur’an dan Terjemaah. DEPAG RI
Antonio.Muhammad Syafii.(2001). Perbankan Syari’ah dari teori ke praktik.
Jakarta:Gema Insani
Karim.Adiwarman.(2004). Bank Islam.Jakarta:Rajawali Pers
Karim, Adiwarman A. Karim. 2008. BANK ISLAM: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Fatwa DSN MUI
Mustafa Omar Mohammed dan Fauziah Md Taib, Testing The Performance Meaasured Based on Maqasid al-Shariah (PMMS) Model on 24 Selected Islamic and Conventional Banks, IIUM, Malasyia, 2009, hlm. 6
Zahrah, Muhammad Abu, Prof. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zuhaili, Wahbah. 1989. Fiqh al Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Daar al Fikr, jilid I, IV, V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar